Penyatuan zona waktu Indonesia. Itulah salah topik panas yang berkembang pada pekan pertama Maret 2012. Idenya adalah agar seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali memiliki jam yang menunjuk pada angka yang sama untuk saat yang sama dimanapun manusia Indonesia berada. Tidak seperti sekarang, saat negeri ini memiliki tiga zona waktu berbeda yakni Waktu Indonesia bagian Barat (WIB), bagian Tengah (WITA) dan bagian Timur (WIT). Tiap-tiap zona waktu berselisih satu jam, sehingga tatkala di Banda Aceh masih jam 07:00, di Balikpapan sudah jam 08:00 sementara di Jayapura jarum jam menunjuk angka 09:00. Kondisi ini membingungkan dan tidak efisien, terlebih tatkala dunia mulai ‘mendatar’ oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang luar biasa yang menjadikan Indonesia hanyalah bagian dari ‘desa global’ ala Marshall Mc Luhan. Dalam konteks itu, kesamaan waktu dipandang memberikan manfaat lebih untuk tertib dan efisiensi administrasi pemerintahan maupun non-pemerintahan serta kegiatan ekonomi. Dengan penyatuan zona waktu maka baik Banda Aceh, Balikpapan maupun Jayapura akan menunjukkan jam yang sama (misalnya jam 07:00) pada saat yang sama. Jam masuk kantor dan aktivitas bisnis pun akan seragam sehingga meningkatkan efisiensi.
Meski terkesan mendadak, wacana penyatuan zona waktu di Indonesia sebenarnya sudah dimunculkan sejak lama. Dalam catatan penulis pada buku setebal 303 + xv halaman yang berjudul “Sang Nabi Pun Berputar : Arah Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya” terbitan Tinta Medina (Tiga Serangkai Group) Surakarta, penyatuan zona waktu Indonesia akan melahirkan WKI (Waktu Kesatuan Indonesia) dan secara otomatis menghapuskan eksistensi WIB, WITA maupun WIT. WKI akan berpatokan pada GMT + 8 (atau sama dengan zona WITA pada saat ini) dan merupakan bagian dari rekonfigurasi zona waktu di kawasan Asia Tenggara dalam rangka pembentukan ACT (ASEAN Common Time) alias waktu standar ASEAN. Seperti halnya WKI, ACT juga akan berpatokan pada GMT + 8.
Pengaturan zona waktu dunia memang telah mengalami pergeseran, dari yang dulu berada dalam ranah astronomis menjadi ranah politis-ekonomis di masa kini. Secara astronomis rumus dasar pengaturan zona waktu dunia cukup sederhana. Bumi berputar pada sumbunya sehingga setiap titik di permukaan Bumi (kecuali kutub utara dan selatan) pada hakikatnya akan berputar tepat 360 derajat terhadap sumbu rotasi Bumi. Periode rotasi Bumi rata-rata adalah 24 jam. Ini adalah angka rata-rata, sebab nilai senyatanya bervariasi dimana pada satu kesempatan bisa lebih dari 24 jam dan di lain waktu bisa kurang dari 24 jam. Dalam astronomi, selisih periode rotasi Bumi senyatanya dengan nilai rata-rata dinamakan perata waktu atau equation of time atau ta’diluzzaman, yang amat penting peranannya dalam penentuan waktu Matahari (istiwa’).
Dengan periode rata-rata 24 jam, maka permukaan Bumi dibagi ke dalam 24 zona waktu dengan tiap zona berselisih 360/24 = 15 derajat bujur dibanding zona-zona waktu lainnya yang bersebelahan dengannya. Perselisihan internasional (khususnya antara Inggris, Perancis dan AS) sempat timbul tatkala muncul problem dimana garis bujur acuan (alias Garis Bujur Utama atau Prime Meridian atau Garis Mawar/Rose Line) harus diletakkan. Sebab berbeda dengan garis-garis lintang, tak ada cara obyektif guna menentukan posisi tiap garis bujur sehingga hanya bisa didasarkan pada kesepakatan manusia. Dan ini membuka peluang negara-negara yang berkepentingan untuk saling bersaing. Persaingan dimenangi Inggris lewat Konferensi Meridian Internasional 1884 di Washington (AS), sehingga Garis Bujur Utama adalah garis utara-selatan yang melintasi kompleks Royal Observatory of Greenwich. Konsekuensinya muncul GMT (Greenwich Mean Time) sebagai patokan waktu dunia, meski belakangan kemudian digantikan UT (Universal Time). Kemenangan Inggris, yang diraih secara voting, menjengkelkan Perancis sebagai saingan beratnya. Sehingga selama beberapa belas tahun kemudian Perancis bersikukuh tetap menggunakan Garis Bujur Paris (yang melintasi Observatorium Paris) sebagai acuan. Barulah di akhir Perang Dunia I Perancis mengalah dan mengacu pada garis bujur Greenwich setelah geopolitik Eropa berubah total.
Rumusan astronomis tentang jumlah zona waktu bagi suatu negara pun cukup sederhana. Jumlah zona waktu adalah jarak bujur, yakni selisih antara garis bujur terbarat dan tertimur dalam negara tersebut, dibagi 15. Sehingga bagi negara seperti Indonesia yang jarak bujurnya 46 derajat, maka jumlah zona waktunya menjadi 46/15 ~ 3 dan inilah yang mendasari adanya tiga zona waktu Indonesia (WIB, WITA dan WIT). Meski demikian kebijakan penentuan zona waktu diserahkan kepada kepentingan masing-masing negara. Makanya jangan heran, pada masa Hindia Belanda wilayah Indonesia memiliki 6 (enam) zona waktu yang masing-masing berselisih setengah jam. Apa yang sekarang dikenal sebagai zona WIB pada saat itu terbagi ke dalam dua zona waktu berbeda. Sehingga jika di Jakarta (Batavia) sudah pukul 07:00, maka di Banda Aceh baru pukul 06:30. Baru pada 1973 dilakukan penyederhanaan zona waktu menjadi 3 seperti sekarang berdasarkan Keputusan Presiden. Sebuah perbaikan kecil dilakukan pada 1988 dengan mengkonfigurasi ulang batas antara zona WIB dan WITA. Bali, yang semula menjadi bagian zona WIB, dimasukkan ke dalam zona WITA. Sementara pulau Kalimantan yang semula masuk zona WITA menjadi terbelah dua, dimana Kalimantan Barat dan Tengah masuk ke dalam zona WIB sementara Kalimantan Timur dan Selatan tetap di zona WITA. Jika penyederhanaan 1973 lebih karena efisiensi birokrasi, maka revisi 1988 bertulangpunggungkan kepentingan ekonomi khususnya untuk Bali.
Lebih lanjut, “Sang Nabi Pun Berputar…” memaparkan kasus serupa dijumpai pula di mancanegara. Republik Rakyat Cina misalnya, yang memiliki jarak bujur 60 derajat, seharusnya memiliki 4 zona waktu. Namun sejak berdirinya di 1949, Cina menetapkan hanya ada satu zona waktu yang berlaku baik dari Tibet di barat hingga Mansyuria di timur. Zona waktu Cina setara dengan zona WITA kita. Negara kecil seperti Singapura misalnya, yang berdekatan dengan pulau Sumatra dan seharusnya zona waktunya setara dengan zona WIB kita, ternyata memilih menggunakan zona waktu setara WITA kita karena alasan ekonomi. Pun Malaysia, yang wilayahnya membentang dari Semenanjung Malaya (sejajar pulau Sumatra) hingga Kalimantan Utara dan seharusnya memiliki dua zona waktu, ternyata hanya menggunakan satu zona waktu yakni setara WITA.
Karena penetapannya berdasarkan kepentingan tiap negara, maka perlahan-lahan pertimbangan politis-ekonomis menggantikan pertimbangan astronomis dalam urusan zona waktu. Hal ini amat menonjol di kawasan Pasifik, tempat dimana garis bujur 180 derajat (baik bujur barat maupun timur) melintas yang secara konsensus menjadi Garis Batas Tanggal Internasional (International Date Line atau IDL). Bagi negara-negara kecil yang terserak di Samudera Pasifik, keberadaan garis bujur 180 derajat amat menjengkelkan karena membelah kawasan mereka. Kiribati misalnya, mengalami situasi seperti itu dimana terdapat tiga zona waktu Kiribati, masing-masing barat (GMT+12), tengah (GMT-12) dan timur (GMT-11). Maka jika di zona waktu Kiribati barat sedang tanggal 1 Januari 1980 pukul 07:00 misalnya, di zona waktu tengah justru masih tanggal 31 Desember 1979 pukul 07:00 dan di timur juga tanggal 31 Desember 1979 namun masih pukul 06:00. Namun karena secara politis tak diperhitungkan dalam percaturan dunia, Kiribati tak punya kuasa untuk mempersoalkan posisi Garis Bujur Greenwich (yang berimplikasi pada posisi garis bujur 180 derajat). Sehingga Kiribati mengambil langkah kreatif: mendeklarasikan seluruh zona waktunya terletak pada tanggal yang sama per 1 Januari 1995. Konsekuensinya rumus zona waktu Kiribati berubah menjadi GMT+12 (barat), GMT+13 (tengah) dan GMT+14 (timur). Sehingga garis IDL di Kiribati pun berbelok ke timur sejauh lebih dari 3.000 km terhadap posisi garis bujur 180 derajat. Sehingga zona waktu dunia pun berubah dari 24 menjadi 26. Belakangan langkah ini diikuti Samoa dan kepulauan Tokelau per 1 Januari 2012, masing-masing menjadi zona waktu GMT+14 dan GMT+13, dengan menghapus hari Jumat tanggal 30 Desember 2011. Langkah serupa sebelumnya dilakukan Kep. Tonga yang menggeser zona waktunya menjadi GMT+13 (semula GMT+12).
Implikasi Serius
Dalam konsep Waktu Kesatuan Indonesia (WKI), di seluruh Indonesia hanya ada satu zona waktu yakni zona WKI yang setara dengan GMT+8. Implikasinya jam kerja administrasi/birokrasi/lembaga di seluruh Indonesia akan sama, yakni masuk pada jam 07:00 dan pulang pukul 16:00 (asumsi lima hari kerja) dengan waktu istirahat siang pukul 12:00 hingga 13:00. Ketentuan ini berlaku secara homogen dari Banda Aceh di barat hingga Jayapura di timur. Sehingga takkan ada waktu terbuang dalam kepentingan administrasi/ekonomi di kedua tempat, yang selama ini sering terjadi akibat adanya perbedaan zona waktu. Maka bakal tercipta sebuah efisiensi yang disebut-sebut mampu menghemat dana hingga trilyunan rupiah.
Namun penerapan WKI membawa sejumlah implikasi serius setidaknya pada dua hal. Pertama, terkait waktu Matahari dan ritme kerja. Waktu Matahari adalah waktu intrinsik yang dimiliki Matahari oleh posisinya akibat rotasi Bumi, yang nampak secara gamblang dalam terbit dan terbenam. Waktu Matahari ini amat berbeda-beda bagi setiap kawasan di Indonesia. Meski waktu Matahari tidak terganggu oleh rekonfigurasi zona waktu di bagian Bumi manapun, namun aplikasi setempatnya dalam waktu sipil akan turut berubah. Di sini penulis mengambil contoh untuk kota Banda Aceh (Aceh), Semarang (Jawa Tengah) dan Jayapura (Papua). Untuk Banda Aceh, dalam posisi zona WIB Matahari terbit secara bervariasi sepanjang tahun di antara pukul 06:30 hingga 07:00 waktu sipil setempat. Makanya sebagian institusi di Banda Aceh memberlakukan jam masuk pada pukul 08:00. Jika Banda Aceh berubah ke posisi WKI, maka terbitnya Matahari bergeser di antara pukul 07:30 hingga 08:00 waktu sipil setempat. Artinya jika jam masuk kerja di sini dipaksakan pada pukul 07:00, maka sebagian institusi sudah harus buka bahkan sebelum Matahari terbit. Secara psikologis situasi ini jelas tidak nyaman karena hari masih gelap. Orang lebih bisa menerima beban kerja hingga melebihi batas waktu terbenamnya Matahari ketimbang sebaliknya.
Hal tersebut memang tidak terlihat di Semarang. Pada posisi zona WIB, Matahari terbit di Semarang sepanjang tahun secara bervariasi di antara pukul 05:00 hingga 05:30 waktu sipil setempat. Jika Semarang berubah ke posisi WKI, maka terbitnya Matahari bergeser di antara pukul 06:00 hingga 06:30 waktu sipil setempat. Maka tidak begitu bermasalah jika jam masuk kerja ditetapkan pada pukul 07:00 karena hari sudah terang. Pun demikian bagi Jayapura. Pada posisi zona WIT, Matahari terbit di Jayapura sepanjang tahun secara bervariasi di sekitar pukul 05:30 waktu sipil setempat. Jika berubah ke posisi WKI, maka terbitnya Matahari bergeser ke belakang menjadi di sekitar pukul 04:30 waktu sipil setempat. Maka dengan jam masuk kerja pukul 07:00, tidak ada masalah bagi Jayapura.
Yang kedua, terkait waktu Matahari dan waktu shalat. Waktu shalat merupakan implikasi langsung dari waktu Matahari. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim sehingga posisi waktu shalat menjadi sangat penting di tengah-tengah waktu kerja. Waktu shalat yang beririsan dengan waktu kerja adalah shalat Dhuhur dan ‘Ashar. Waktu Dhuhur per definisi dimulai dari saat Matahari tepat meninggalkan posisi transit (yakni posisi dimana bayang-bayang yang ditimbulkannya tepat berarah utara-selatan) atau posisi zawal/istiwa’ dan berakhir pada awal waktu ‘Ashar. Sementara waktu ‘Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang benda yang tersinari Matahari tepat sama dengan panjang bendanya.
Bagi Banda Aceh, pada posisi zona WIB maka awal waktu Dhuhur sepanjang tahun bervariasi di antara pukul 12:30 hingga 13:00 waktu sipil setempat. Maka sebagian institusi di sana (khususnya yang menerapkan jam masuk pukul 08:00) menetapkan waktu istirahat siang pada pukul 13:00 hingga 14:00. Namun sebagian lainnya (khususnya yang menerapkan jam istirahat pukul 12:00 hingga 13:00) pun masih menjumpai awal waktu Dhuhur. Jika Banda Aceh berubah ke posisi WKI, maka awal waktu Dhuhur bergeser menjadi antara pukul 13:30 hingga 14:00. Maka memaksakan jam istirahat siang antara pukul 12:00 hingga 13:00 dalam sistem WKI bagi Banda Aceh jelas tidak efektif, karena jam istirahat terjadi sebelum awal waktu Dhuhur. Padahal jam istirahat siang di Indonesia bukan hanya sekedar untuk melepas lelah ataupun bersantap siang, namun juga digunakan untuk menunaikan ibadah shalat Dhuhur. Dan percuma menunaikan shalat Dhuhur jika waktunya saja belum masuk.
Problem Banda Aceh memang tidak begitu terasa di Semarang. Bagi kota ini pada posisi zona WIB maka awal waktu Dhuhur sepanjang tahun bervariasi di antara pukul 11:30 hingga 12:00 waktu sipil setempat. Jika Semarang berubah ke posisi WKI, maka awal waktu Dhuhur bergeser menjadi antara pukul 12:30 hingga 13:00. Dengan rentang jam istirahat siang antara jam 12:00 hingga 13:00 untuk posisi WKI, Semarang masih menjumpai awal waktu Dhuhur. Meski ritme istirahat siang di sini sedikit berubah dengan shalat Dhuhur baru bisa dilaksanakan menjelang waktu istirahat berakhir. Pun demikian bagi Jayapura. Bagi kota ini pada posisi zona WIT maka awal waktu Dhuhur sepanjang tahun bervariasi di antara pukul 11:30 hingga 12:00 waktu sipil setempat. Jika Jayapura berubah ke posisi WKI, maka awal waktu Dhuhur bergeser lebih awal menjadi antara pukul 10:30 hingga 11:00. Sehingga tidak bermasalah dengan waktu istirahat siang ala WKI.
Dari contoh tersebut jelas bahwa penerapan waktu kerja dengan model WKI yang telah diusulkan saat ini berpotensi menimbulkan implikasi Serius, khususnya di propinsi-propinsi terbarat Indonesia. Ketika waktu istirahat siang di Banda Aceh tidak bertepatan dengan waktu Dhuhur, maka pada praktiknya akan terjadi dua kali istirahat siang, yakni yang resmi (antara pukul 12:00 hingga 13:00) dan tambahan-sendiri (setelah memasuki awal waktu Dhuhur). Mengecualikan kawasan ini dari model umum WKI takkan menyelesaikan masalah, karena justru bertentangan dengan semangat awal WKI untuk menyatukan ritme kerja di seluruh Nusantara.
Mengapa per 17 Agustus 2012 ?
Hal lain yang bikin dahi berkerut adalah ide penerapan WKI per 17 Agustus 2012 mendatang. Meski tanggal itu memang tanggal keramat bagi penduduk Indonesia, namun mengapa per 17 Agustus 2012 ?
Memang tidak ada aturan baku kapan perubahan zona waktu bagi suatu negara mulai diterapkan. Reformasi kalender Gregorian misalnya, ditetapkan efektif per 4 Oktober 1582. Namun pasca Konferensi Meridian Internasional 1884, perubahan tersebut pada umumnya berlaku per 1 Januari. Pertimbangannya lebih pada psikologi massa. 1 Januari merupakan awal bagi tahun yang baru, awal lembaran baru dan awal bagi hari kerja baru (setelah libur akhir tahun) sehingga dipandang lebih tepat untuk menerapkan aturan baru dengan dampak psikologi massa seminimal mungkin. Ini bisa kita lihat misalnya pada perubahan zona waktu di Filipina, Kiribati, Kep. Tonga serta belakangan Samoa dan Kep. Tokelau. Indonesia pun, pada penyederhanaan 1973 dan penataan ulang 1988 juga memulainya pada 1 Januari. Jadi mengapa implementasi WKI tidak diterapkan per 1 Januari 2013 ?
Selain itu pemilihan 17 Agustus 2012 pun problematis mengingat tanggal ini bertepatan dengan akhir Ramadhan 1433 H dan umat Islam Indonesia sedang bersiap-siap merayakan Idul Fitri 1433 H. Memperhatikan konfigurasi posisi Bulan dan Matahari pada 17 Agustus 2012, Idul Fitri memang akan dirayakan pada hari yang sama (tanpa perbedaan seperti pada 2011), namun hari raya ini juga sekaligus momen rekonsiliasi setelah awal Ramadhan 1433 H kemungkinan berbeda antara keputusan pemerintah (c.q. Kementerian Agama) dengan ormas Islam seperti Muhammadiyah. Jadi, apakah tidak menambah masalah baru ketika implementasi WKI dilaksanakan pada situasi seperti itu? Nampak jelas bahwa keputusan implementasi WKI dengan pola waktu kerjanya tidak menyertakan unsur Kementerian Agama.
Rumusan Ideal
Mengingat situasi seperti itu, maka tak mengherankan bila Prof. Thomas Djamaluddin menyarankan agar WKI dibatalkan saja dan digantikan oleh sistem dua zona waktu. Menurutnya sistem dua zona waktu akan mampu mengeliminir implikasi-implikasi tersebut di atas.
Dalam hemat penulis, jika memang WKI hendak diterapkan di Indonesia (dan tidak bisa digantikan oleh alternatif lain), sebaiknya ada perubahan pada waktu kerja ala WKI. Dalam sistem lima hari kerja, jam masuk kerja sebaiknya diundur ke jam 08:00 sementara jam istirahat siang antara jam 13:00 hingga 14:00 dan jam pulang pada pukul 17:00. Dengan demikian problem di Banda Aceh dan sekitarnya relatif teratasi. Memang pengaturan ini tidak sepenuhnya ideal. Bagi Jayapura, jam masuk kerja pukul 08:00 terjadi tatkala Matahari sudah cukup tinggi di langit timur (yakni di sekitar 40-45 derajat), sementara pada saat pulang kerja Matahari sudah terbenam. Namun pengaturan model ini relatif lebih bisa diterima, mengingat orang lebih bisa menerima pulang kerja terlambat (baca : setelah terbenamnya Matahari) ketimbang harus masuk pagi-pagi buta.
Selain itu, implementasi WKI sebaiknya mulai berjalan per 1 Januari 2013. Pertimbangannya, selain meminimalkan gejolak publik (meskipun gejolaknya takkan bakal separah resistensi kenaikan harga BBM), tidak terburu-buru dan juga menyediakan rentang waktu lebih lama guna melaksanakan sosialisasi. Tidak seperti sekarang, dimana penjelasan tentang penyatuan zona waktu ke dalam WKI masih sepotong-sepotong dan hanya berkutat pada “keuntungan-keuntungan” penerapan WKI (dari aspek ekonomi) tanpa mempertimbangkan aspek religi dan kultural. Kita belum mendapatkan satu gambaran utuh bagaimana Indonesia setelah penerapan WKI, khususnya dari dua kawasan ekstrim : kawasan terbarat dan tertimur Indonesia. Janganlah pembicaraan mengenai WKI hanya datang dari kementerian-kementerian bidang ekonomi tanpa menyertakan Kementerian Agama, padahal WKI memiliki implikasi cukup luas dalam aspek religi (khususnya bagi Umat Islam di Indonesia).
0 comments:
Post a Comment