Fenomena yang saat ini banyak terjadi di Indonesia adalah tumpang tindih kewenangan diantara banyak tenaga kesehatan yang ada. Terjadi baik di kalangan dokter, perawat maupun bidan. Permasalahan yang timbul antara dokter dan perawat sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru lagi. Banyak dokter yang melakukan tugas di daerah harus bersaing dengan perawat dalam hal praktek pengobatan, dimana faktor legitimasi, kewenangan, dan etika seorang perawat patut dipertanyakan disini.
Hasil evaluasi peran dan fungsi perawat puskesmas di daerah terpencil, yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia tahun 2005 menyatakan bahwa jumlah perawat yang menetapkan diagnosis penyakit adalah sebesar 92.6%, 93.1% membuat resep obat, 97.1% melakukan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung puskesmas dan 70.1% melakukan pemeriksaan kehamilan dengan 57.7% melakukan pertolongan persalinan. Sehingga direkomendasikan untuk peningkatan kordinasi dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi perawat khususnya untuk tugas tugas dalam pengobatan. Karena pemerintah menyadari sepenuhnya keterbatasan sumber daya manusia terutama dokter dalam menjangkau masyarakat terutama di daerah terpencil.
Lalu bagaimana dengan legalitas yang dilakukan oleh perawat dalam melakukan tindakan diluar kewenangan? Banyak pihak mengatakan bahwa tindakan itu dilakukan berdasar pada itikad baik menurut hukum Samaritan Laws. Tetapi bila itu dilakukan di daerah perkotaan, maka perawat tersebut sebenarnya dapat dituntut karena legalitas dalam melakukan praktek, lain halnya bila hal itu terjadi di daerah luar kota, atau di daerah dengan kategori terpencil atau sangat terpencil. Apakah ini berarti mematikan ekonomi perawat terutama di dalam kota? Satu cuplikan data di bawah ini mungkin dapat menjadi masukan.
Pada tahun 1990-2025 Indonesia diperkirakan akan mengalami kenaikan lansia hingga 414%, menduduki peringkat ke-3 dunia, setelah Cina dan India. Pada awal abad ke 21 ini diperkirakan angka tersebut mencapai 15 juta orang dan pada tahun 2020 jumlah lanjut usia tersebut akan meningkat sekitar 30-40 juta orang.. Bukankah hal ini merupakan ladang subur untuk profesi perawat? Masyarakat sangat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, bermutu, dan juga sekaligus legal.
Menurut hemat penulis saat ini bukan saatnya untuk saling adu argumen tentang ladang atau wilayah profesi masing-masing pihak. Setiap profesi di bidang kesehatan pasti akan saling bersinggungan. Celah intersepsi yang dihasilkan janganlah menjadi masalah yang besar, karena ada bagian lain dari profesi itu yang tidak akan tersentuh oleh profesi lain. Sehingga kalau kita memang hendak menerapkan profesionalisme, bagian inilah yang seharusnya lebih ditekankan. Celah intersepsi dibutuhkan untuk kita dapat saling bekerja sama dan bukan untuk mencari kesalahan profesi lain. Akhir kata, semua berpulang pada keinginan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan di negara tercinta ini. Amin..
Hasil evaluasi peran dan fungsi perawat puskesmas di daerah terpencil, yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia tahun 2005 menyatakan bahwa jumlah perawat yang menetapkan diagnosis penyakit adalah sebesar 92.6%, 93.1% membuat resep obat, 97.1% melakukan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung puskesmas dan 70.1% melakukan pemeriksaan kehamilan dengan 57.7% melakukan pertolongan persalinan. Sehingga direkomendasikan untuk peningkatan kordinasi dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi perawat khususnya untuk tugas tugas dalam pengobatan. Karena pemerintah menyadari sepenuhnya keterbatasan sumber daya manusia terutama dokter dalam menjangkau masyarakat terutama di daerah terpencil.
Lalu bagaimana dengan legalitas yang dilakukan oleh perawat dalam melakukan tindakan diluar kewenangan? Banyak pihak mengatakan bahwa tindakan itu dilakukan berdasar pada itikad baik menurut hukum Samaritan Laws. Tetapi bila itu dilakukan di daerah perkotaan, maka perawat tersebut sebenarnya dapat dituntut karena legalitas dalam melakukan praktek, lain halnya bila hal itu terjadi di daerah luar kota, atau di daerah dengan kategori terpencil atau sangat terpencil. Apakah ini berarti mematikan ekonomi perawat terutama di dalam kota? Satu cuplikan data di bawah ini mungkin dapat menjadi masukan.
Pada tahun 1990-2025 Indonesia diperkirakan akan mengalami kenaikan lansia hingga 414%, menduduki peringkat ke-3 dunia, setelah Cina dan India. Pada awal abad ke 21 ini diperkirakan angka tersebut mencapai 15 juta orang dan pada tahun 2020 jumlah lanjut usia tersebut akan meningkat sekitar 30-40 juta orang.. Bukankah hal ini merupakan ladang subur untuk profesi perawat? Masyarakat sangat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, bermutu, dan juga sekaligus legal.
Menurut hemat penulis saat ini bukan saatnya untuk saling adu argumen tentang ladang atau wilayah profesi masing-masing pihak. Setiap profesi di bidang kesehatan pasti akan saling bersinggungan. Celah intersepsi yang dihasilkan janganlah menjadi masalah yang besar, karena ada bagian lain dari profesi itu yang tidak akan tersentuh oleh profesi lain. Sehingga kalau kita memang hendak menerapkan profesionalisme, bagian inilah yang seharusnya lebih ditekankan. Celah intersepsi dibutuhkan untuk kita dapat saling bekerja sama dan bukan untuk mencari kesalahan profesi lain. Akhir kata, semua berpulang pada keinginan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan di negara tercinta ini. Amin..
1 comments:
Very good article
Post a Comment