"Awal  bulan depan, genap satu tahun pernikahan kita. Sementara bunga kecil di  perutmu sudah mulai mendesak-desak ingin keluar, hmm... tak terasa  sebentar lagi bunga itu akan keluar dan menghiasi harum rumah kecil ini.  Dik, sungguh aku sudah tidak sabar untuk menciuminya sepuasku hingga  tak satupun orang lain kuberikan kesempatan mencium dan memeluknya  sebelum aku, ayahnya, bosan menciumnya. 
Satu  tahun empat bulan yang lalu, aku masih ingat saat datang ke rumahmu  untuk berkenalan dengan keluargamu. Takkan pernah hilang dalam  ingatanku, betapa kedatanganku yang ditemani beberapa sahabat untuk  berkenalan malah berubah menjadi sebuah prosesi yang aku sendiri tidak  siap melakukannya, yah... aku melamarmu dik.... 
Padahal,  baru satu minggu sebelum itulah kita berkenalan di rumah salah seorang  sahabatmu. Waktu itu, aku tak berani menatap wajahmu meski ingin sekali  aku beranikan diri untuk mengangkat wajahku dan segera menatapmu. Tapi,  entah magnet apa yang membuatku terus tertunduk. Kenakalanku selama ini  ternyata tidak berarti apa-apa dihadapanmu, kurasakan sebuah gunung  besar bertengger tepat di atas kepalaku dan membuatku terus tertunduk. 
Dik,  aku juga masih ingat dua hari setelah pernikahan kita, kamu masih tidak  mau membuka jilbab didepanku meski aku sudah sah sebagai suamimu.  Tidurpun, kita masih berpisah, kamu diatas kasur empuk yang aku belikan  beberapa hari sebelum pernikahan, sementara aku harus kedinginan tidur  dilantai beralaskan selimut. 
Hmm,  aku masih sering tersenyum sendirian kala mengingat kata-kataku untuk  merayumu agar mau membuka jilbab. "Abang cuma ingin tahu, istri abang  nih ada telinganya nggak sih". Kata-kata lembutku pada malam ketiga itu  langsung disambar dengan pelototan mata indahmu. "Teruslah dik, mata  melotot adik takkan pernah membuat abang takut atau menyerah, malaaah,  adik makin terlihat cantik, makin jelas indahnya mata adik". 
Setelah  kata-kata itu meluncur dari mulut jahilku, bertubi-tubi pukulan sayang  mendarat di tubuh dan kepalaku karena adik menganggap aku meledekmu.  Tapi waktu itu, aku justru merasakan kehangatan pada setiap sentuhan  tanganmu yang mengalir bak air di pegunungan. Karena aku yakin, dibalik  pukulan-pukulan kecil itu, deras kurasakan cintamu seiring hujan yang  turun sejak selepas maghrib. 
Indah  bunga seroja di taman mungkin takkan pernah bisa mengungkapkan eloknya  cinta kita, cinta yang didasari atas kecintaan kepada Allah. Allah-lah  yang menciptakan hati, jiwa dan ragamu begitu rupa sehingga aku  mencintaimu. Aku pun berharap, atas dasar cinta Allah pulalah adik  mencintaiku. Karena hanya dengan cinta karena Allah, cinta ini akan  terus berbunga dan mewangi selamanya. 
Cinta  hakiki adalah cinta kepada zat yang menciptakan cinta itu sendiri,  begitu seorang bijak berkata. Cinta tidak dirasa tanpa pengorbanan,  kasih sayang bukan sekedar untaian kata-kata indah, dan kerinduan yang  terus takkan pernah terwujud jika hanya sebatas pemanis bibir, tambah  sang bijak. 
Langit  akan selamanya cerah, bila kita suburkan cinta ini. Mentari takkan  pernah bosan bersinar selama kasih antara kita tetap terpatri dan  rembulan pun tetap tersenyum, selama kita isi hari-hari dengan segala  keceriaan yang jujur. 
Tak  terasa, malam semakin larut dik. Baru saja kudengar dentang jam  berbunyi duabelas kali. Sementara tangan ini masih asik dengan pena dan  secarik kertas putih. Kan kutulis semua rasa bathinku malam ini, semua  keindahan, kehangatan, dan hidup dibawah naungan cinta bersamamu karena  Allah. Tapi, maafkan aku dik, karena aku juga akan mengkhabarimu hal  yang tidak pernah kuceritakan kepadamu sebelumnya. 
Kau  sandarkan kepalamu di dadaku, lelap sudah malam menghantarmu tidur.  Tapi, ah... bunga kecil kita ternyata belum tidur dik... sesekali  kurasakan sentuhan kakinya dari dalam perutmu. Rupanya bunga kecil itu  sudah mengenaliku sebagai ayahnya, kurasakan berkali-kali diberbagai  kesempatan berdampingan denganmu, tangan-tangan kecilnya berupaya  menggapai dan menyentuhku seakan memintaku untuk segera menggendongnya. 
Malam  ini, ada tangis dihatiku yang tidak mungkin aku curahkan padamu. Karena  aku tahu, kaupun sudah cukup sering menahan tangismu agar tidak  terlihat olehku. Jadi, mana mungkin aku menambahinya dengan air mataku  yang mulai menggenang di bibir kelopak mataku ini. 
Sebagai  suami, aku merasa belum mampu membahagiakanmu dik. Nafkah yang  kuberikan kepadamu setiap bulan, tidak pernah cukup bahkan untuk dua  minggu pun. Sehingga untuk keperluan dua minggu berikutnya, aku harus  meminjamnya dari teman-temanku tanpa sepengetahuanmu dan aku hanya  membisikimu, "rizqumminallaah". 
Setahun  kita menikah, tak sehelaipun pakaian kubelikan untukmu. Bahkan aku  sering menangis, saat mengajakmu pergi, adik harus bingung mencari-cari  sandal yang layak dipakai. Tak pernah aku mengajakmu untuk  berjalan-jalan, karena aku selalu disibukkan dengan segala urusanku, tak  peduli hari libur. Aku selalu berharap adik tampil cantik dan segar  sepanjang hari, tapi tak pernah kubelikan adik alat-alat kecantikan. Dan  yang terakhir, aku tak kuasa mengingatnya dik, meski berat kita harus  melalui saat-saat kita makan dengan makanan seadanya, bahkan tidak  jarang kita berpuasa. Waktu itu adik bilang, "Biarlah bang, adik lebih  rela makan sedikit dan seadanya daripada kita harus berhutang, karena  hidup tidak akan tenteram dan selalu merasa dikejar-kejar". 
Sebentar  lagi, bunga kecil itu akan hadir dik. Akankah aku, ayahnya,  membiarkannya tumbuh dengan apa adanya seperti yang aku lakukan  terhadapmu dik. Bersyukurlah ia karena mempunyai ibu yang sholehah dan  selalu menjaga kedekatannya dengan Allah. Karena, walau gizi yang  diberikannya kelak tidak sebanyak kebanyakan anak-anak lainnya, tetapi  ibunya akan mengalirkan gizi takwa dihatinya, mengenalkan Allah sebagai  Rabb-nya, Muhammad sebagai tauladannya dan mengajarkan Al Qur'an sebagai  petunjuk jalannya kelak. Ibunya akan mengajarkan kebenaran kepadanya  sehingga mampu membedakan mana hak dan mana bathil, 
Dik,  jika ia lahir nanti, sirami hatinya dengan dzikir, suburkan jiwanya  dengan lantunan ayat-ayat suci Al Qur'an, hangatkan tubuhnya dengan  keteguhan menjalankan dinnya, baguskan pula hatinya dengan  mengajarkannya bagaimana mencintai Allah dan Rasul-Nya, ajarkan juga ia  berbuat baik kepada orangtua dan orang lain, bimbinglah ia dengan ilmu  yang kau punya, sehingga dengan ilmu itu ia tidak menjadi orang yang  tertindas. Jadikan jujur sebagai pengharum mulutnya serta kata-kata yang  benar, baik, lembut dan mulia sebagai penghias bibirnya. Sematkan  kesabaran dalam setiap langkahnya, taburi pula benih-benih cinta di  dadanya agar ia mampu mengukir cinta dan kasih sayang dalam setiap  perilakunya, dan yang terakhir kenakan takwa sebagai pakaiannya setiap  hari. 
 6:52 AM
6:52 AM
 Kancil Jogja
Kancil Jogja
 
 Posted in:
 Posted in:   
0 comments:
Post a Comment