WIT, WITA dan WIB akan menjadi satu zona waktu. Begitulah usulan dan wacana dari Komite Percepatan Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Ada beberapa pertimbangan ditetapkannya satu zona waktu, salah satunya yaitu agar Indonesia dapat bersaing di bidang ekonomi secara lebih efektif dan efisien dengan negara lain. selain itu isu penyatuan zona waktu dianggap berdampak positif pada industri pasar modal dan kalangan dunia usaha.
Penyatuan zona waktu sebenarnya bukan hal baru lagi bagi Indonesia, tercatat sembilan kali Indonesia menerapkan perubahan zona waktu. Sebelum merdeka, Pemerintah Hindia Belanda yang pada waktu itu berkuasa pernah merubah zona waktu di indonesia sebanyak lima kali dan setelah merdeka Pemerintah Indonesia empat kali merubah zona waktu. perubahan kesembilan zona waktu Indonesia ditandai dengan keluarnya Bali dari zona WIB ke WITA dengan alasan pertimbangan pembangunan ekonomi dari sisi pariwisata.
Dipandang dari sisi perkembangan Pasar Modal, dengan adanya penyatuan zona waktu tersebut akan terjadi sinkronisasi waktu pembukaan dan penutupan pasar di regional yang lebih besar. Secara teoritis apabila pola transaksi di pasar modal meningkat sebagai akibat dari penyatuan zona waktu, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara luas. Selain itu dengan zona waktu yang sama, relatif akan mempermudah penyebaran informasi secara merata dan efektif.
Dari sisi industri juga dapat dilihat hal positif dari zona waktu yang sama yaitu penghematan yang besar dari sisi energi dan biaya lembur serta proses kontrol yang lebih mudah. Selain itu dengana adanya penyatuan zona waktu diharapkan akan meningkatkan PDB indonesia sebanyak 20%, hal ini dikarenakan jumlah angkatan kerja yang berjumlah 190 juta orang akan memulai pekerjaan mereka secara bersama-sama.
Dapat disimpulkan sementara bahwa argumen dari sisi ekonomi, penyatuan zona waktu akan berdampak positif, namun penerapan zona waktu ini juga harus mempertimbangkan banyak hal dan harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan gejolak yang pada akhirnya akan merugikan Indonesia sendiri.
Pro dan Kontra penyatuan zona waktu ini akan terjadi berkepanjangan apabila pemerintah melalui KP3EI tidak segera memaparkan dan melakukan sosialisasi masterplan penerapan satu zona waktu. Masterplan ini diharapakan dapat mengakomodir kekhawatiran dari berbagai kalangan masyarakat akan dampak negatif yang berpotensi muncul apabila penyatuan zona ini tidak dibarengi dengan pemikiran dan langkah yang cermat.
Dari sisi birokasi pemerintahan, harapan efisisensi dan efektifitas kerja dengan penyatuan zona waktu mungkin akan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan yang sudah lama berjalan, yaitu walaupun birokrasi datang lebih awal namun aktivitas pekerjaan tetap akan dimulai sekitar jam sembilan. Hal seperti ini harus dicermati oleh pemerintah apabila hendak memberlakukan satu zona waktu. Ada beberapa hal yang harus dibenahi terlebih dahulu, seperti perbaikan layanan agar lebih cepat serta tidak berbelit-belit sehingga efisiensi pelayanan birokrasi menjadi lebih nyata terlihat dan dirasakan. Dengan adanya permasalahan dari sisi budaya kerja dan kebiasaan di birokrasi, secara langsung maupun tidak langsung penyatuan zona waktu tidak kan berdampak signifikan terhadap efisiensi dan efektifitas dalam birokrasi.
Selain masalah efisiensi dan efektivitas kerja, berbagai permasalahan lain juga timbul seperti penyesuaian jam kerja diberbagai sektor. Sebagai contoh perusahaan penerbangan dan bandara, penyesuaian jam kerja mutlak diperlukan agar dapat mengakomodir bandara-bandara yang secara praktek tidak buka 24 jam, bagaimana jadinya pesawat mendarat saat bandara tidak beroperasi atau sudah tutup. Masih banyak lagi sektor-sektor yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah agar penerapan satu zona waktu dapat berjalan dengan baik.
Secara psikologis perubahan zona waktu pasti akan mempengaruhi gaya hidup dalam hal penyesuaian jam biologis. Orang tua dikawasan WIB akan mengantar anaknya lebih pagi lagi, sedangkan di WIT matahari sudah bersinar terang pada saat jam dimulainya sekolah. Belum lagi dengan fakta bahwa penduduk Indonesia masih didominasi oleh masyarakat tradisional yang sering berpatokan pada sinar matahari sebagai pedoman dalam beraktivitas. Atas dasar permasalah tersebut, muncul pertanyaan akan pengaruh dampak psikologis perubahan waktu ini terhadap jam biologis penduduk Indonesia.
Berkaca pada permasalahan diatas, kita dapat mencontoh penerapan satu zona waktu di Cina. Perubahan gaya hidup bukanlah hal yang sulit meskipun penyamaan zona waktu dimulai pada saat mayoritas penduduk Cina berprofesi sebagai petani dan sekarang negara Cina menjadi salah satu raksasa industri didunia. Tidak dapat dipungkiri akan ada perbedaan gelap dan terang serta waktu malam/siang yang lebih panjang, akan menimbulkan perubahan gaya hidup masyarakat, namun perubahan tersebut perlu disesuaikan dengan proses adaptasi. Satu hal yang pasti, akan terjadi ketidaknyamanan atau perasaan canggung di awal pelaksaanan, namun akan hilang seiring berjalannya waktu dan proses adaptasi yang baik.
Kalau dilihat dari sisi sejarah penerapan zona waktu, penentuan waktu bukan ditentukan oleh keputusan politk atau ekonomi, namun berdasarkan oleh garis bujur bumi. Dengan patokan satu hari adalah 24 jam serta lingkar bumi diukur sebesar 360 derajat, dapat dihitung secara matematis bahwa 360/24 = 15 derajat, jadi setiap 15 derajat akan memiliki selisih satu jam. Sebagai contoh, Indonesia dan Australia kurang lebih berbeda 45 derajat atau ada perbedaan sekitar 3 jam yang signifikan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu dan dengan alasan perkembangan ekonomi, ada banyak negara yang mulai mengabaikan pembagian zona waktu tersebut. hal ini ditandai dengan keberhasilan Cina menyatukan 5 zona waktu menjadi 1 zona waktu. perkembangan ekonomi Cina ditandai dengan pertumbuhan yang sangat pesat yang membuat banyak negara mengikuti jejak keberhasilan negara tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa alasan penerapan zona waktu baru di Indonesia adalah berdasarkan pertimbangan percepatan pembangunan ekonomi. Namun harus diperhatikan juga secara cermat, apakah penyatuan zona waktu menjadi jawaban untuk percepatan pembangunan ekonomi dinegara kita? Bukankah sebaiknya pemerintah lebih fokus memperbaiki sistem dan budaya kerja serta pemerataan pembangunan di Indonesia yang secara pasti akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Penyatuan zona waktu sebenarnya bukan hal baru lagi bagi Indonesia, tercatat sembilan kali Indonesia menerapkan perubahan zona waktu. Sebelum merdeka, Pemerintah Hindia Belanda yang pada waktu itu berkuasa pernah merubah zona waktu di indonesia sebanyak lima kali dan setelah merdeka Pemerintah Indonesia empat kali merubah zona waktu. perubahan kesembilan zona waktu Indonesia ditandai dengan keluarnya Bali dari zona WIB ke WITA dengan alasan pertimbangan pembangunan ekonomi dari sisi pariwisata.
Dipandang dari sisi perkembangan Pasar Modal, dengan adanya penyatuan zona waktu tersebut akan terjadi sinkronisasi waktu pembukaan dan penutupan pasar di regional yang lebih besar. Secara teoritis apabila pola transaksi di pasar modal meningkat sebagai akibat dari penyatuan zona waktu, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara luas. Selain itu dengan zona waktu yang sama, relatif akan mempermudah penyebaran informasi secara merata dan efektif.
Dari sisi industri juga dapat dilihat hal positif dari zona waktu yang sama yaitu penghematan yang besar dari sisi energi dan biaya lembur serta proses kontrol yang lebih mudah. Selain itu dengana adanya penyatuan zona waktu diharapkan akan meningkatkan PDB indonesia sebanyak 20%, hal ini dikarenakan jumlah angkatan kerja yang berjumlah 190 juta orang akan memulai pekerjaan mereka secara bersama-sama.
Dapat disimpulkan sementara bahwa argumen dari sisi ekonomi, penyatuan zona waktu akan berdampak positif, namun penerapan zona waktu ini juga harus mempertimbangkan banyak hal dan harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan gejolak yang pada akhirnya akan merugikan Indonesia sendiri.
Pro dan Kontra penyatuan zona waktu ini akan terjadi berkepanjangan apabila pemerintah melalui KP3EI tidak segera memaparkan dan melakukan sosialisasi masterplan penerapan satu zona waktu. Masterplan ini diharapakan dapat mengakomodir kekhawatiran dari berbagai kalangan masyarakat akan dampak negatif yang berpotensi muncul apabila penyatuan zona ini tidak dibarengi dengan pemikiran dan langkah yang cermat.
Dari sisi birokasi pemerintahan, harapan efisisensi dan efektifitas kerja dengan penyatuan zona waktu mungkin akan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan yang sudah lama berjalan, yaitu walaupun birokrasi datang lebih awal namun aktivitas pekerjaan tetap akan dimulai sekitar jam sembilan. Hal seperti ini harus dicermati oleh pemerintah apabila hendak memberlakukan satu zona waktu. Ada beberapa hal yang harus dibenahi terlebih dahulu, seperti perbaikan layanan agar lebih cepat serta tidak berbelit-belit sehingga efisiensi pelayanan birokrasi menjadi lebih nyata terlihat dan dirasakan. Dengan adanya permasalahan dari sisi budaya kerja dan kebiasaan di birokrasi, secara langsung maupun tidak langsung penyatuan zona waktu tidak kan berdampak signifikan terhadap efisiensi dan efektifitas dalam birokrasi.
Selain masalah efisiensi dan efektivitas kerja, berbagai permasalahan lain juga timbul seperti penyesuaian jam kerja diberbagai sektor. Sebagai contoh perusahaan penerbangan dan bandara, penyesuaian jam kerja mutlak diperlukan agar dapat mengakomodir bandara-bandara yang secara praktek tidak buka 24 jam, bagaimana jadinya pesawat mendarat saat bandara tidak beroperasi atau sudah tutup. Masih banyak lagi sektor-sektor yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah agar penerapan satu zona waktu dapat berjalan dengan baik.
Secara psikologis perubahan zona waktu pasti akan mempengaruhi gaya hidup dalam hal penyesuaian jam biologis. Orang tua dikawasan WIB akan mengantar anaknya lebih pagi lagi, sedangkan di WIT matahari sudah bersinar terang pada saat jam dimulainya sekolah. Belum lagi dengan fakta bahwa penduduk Indonesia masih didominasi oleh masyarakat tradisional yang sering berpatokan pada sinar matahari sebagai pedoman dalam beraktivitas. Atas dasar permasalah tersebut, muncul pertanyaan akan pengaruh dampak psikologis perubahan waktu ini terhadap jam biologis penduduk Indonesia.
Berkaca pada permasalahan diatas, kita dapat mencontoh penerapan satu zona waktu di Cina. Perubahan gaya hidup bukanlah hal yang sulit meskipun penyamaan zona waktu dimulai pada saat mayoritas penduduk Cina berprofesi sebagai petani dan sekarang negara Cina menjadi salah satu raksasa industri didunia. Tidak dapat dipungkiri akan ada perbedaan gelap dan terang serta waktu malam/siang yang lebih panjang, akan menimbulkan perubahan gaya hidup masyarakat, namun perubahan tersebut perlu disesuaikan dengan proses adaptasi. Satu hal yang pasti, akan terjadi ketidaknyamanan atau perasaan canggung di awal pelaksaanan, namun akan hilang seiring berjalannya waktu dan proses adaptasi yang baik.
Kalau dilihat dari sisi sejarah penerapan zona waktu, penentuan waktu bukan ditentukan oleh keputusan politk atau ekonomi, namun berdasarkan oleh garis bujur bumi. Dengan patokan satu hari adalah 24 jam serta lingkar bumi diukur sebesar 360 derajat, dapat dihitung secara matematis bahwa 360/24 = 15 derajat, jadi setiap 15 derajat akan memiliki selisih satu jam. Sebagai contoh, Indonesia dan Australia kurang lebih berbeda 45 derajat atau ada perbedaan sekitar 3 jam yang signifikan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu dan dengan alasan perkembangan ekonomi, ada banyak negara yang mulai mengabaikan pembagian zona waktu tersebut. hal ini ditandai dengan keberhasilan Cina menyatukan 5 zona waktu menjadi 1 zona waktu. perkembangan ekonomi Cina ditandai dengan pertumbuhan yang sangat pesat yang membuat banyak negara mengikuti jejak keberhasilan negara tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa alasan penerapan zona waktu baru di Indonesia adalah berdasarkan pertimbangan percepatan pembangunan ekonomi. Namun harus diperhatikan juga secara cermat, apakah penyatuan zona waktu menjadi jawaban untuk percepatan pembangunan ekonomi dinegara kita? Bukankah sebaiknya pemerintah lebih fokus memperbaiki sistem dan budaya kerja serta pemerataan pembangunan di Indonesia yang secara pasti akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment