Monday, March 17, 2014

PENDIDIKAN INTEGRATIF


Ada delapan sisi yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan emosi (psikis), pendidikan sosial, pendidikan seksual, dan pendidikan politik
 
a) Pendidikan Iman
Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh bagian-bagian pendidikan. Pendidikan iman ini yang akan membentuk kecerdasan spiritual. Komitmen iman yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Yang dimaksud dengan keimanan adalah keyakinan akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Melihat perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Membalas perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Adil dalam memberikan hukuman dan pembalasan, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala apa yang tampak dan tersembunyi. Inilah hakikat iman yang paling fundamental. Setiap orang merasa dirinya berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan.

Perasaan bertuhan menjadi sebuah landasan imunitas bagi semua manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seorang ayah akan bekerja dengan benar untuk menghidupi keluarganya karena merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Melihat. Seorang pejabat akan menunaikan amanah dengan benar, tidak menyalahgunakan wewenang walaupun ada banyak kesempatan ditemui, karena merasa diawasi oleh Tuhan.
Nilai-nilai keimanan harus dijadikan perhatian utama dalam membentuk imunitas keluarga dalam menghadapi arus globalisasi. Penanaman nilai-nilai keimanan dalam keluarga merupakan pengamalan Pancasila khususnya sila pertama. Apabila iman sudah tertanam dengan kuat, akan melahirkan pula kepatuhan manusia terhadap hukum dan aturan yang datang dari Tuhan. Semua hukum dan aturan yang diberikan oleh Tuhan untuk manusia adalah untuk kebaikan kehidupan manusia dan menghindarkan manusia dari kerusakan. Keluarga dibiasakan dan dilatih untuk mentaati hukum dan aturan dari Tuhan, agar kehidupan yang terbangun dapat berada dalam jalan yang benar.
Lebih jauh lagi, keimanan juga membentuk pemikiran dan cara pandang yang khas, yaitu manusia dalam memandang segala sesuatu dengan perspektif ketuhanan. Sebagai manusia beragama, semestinya dituntut memandang segala sesuatu dengan cara pandang yang bertuhan. Pragmatisme dan perbuatan fatalistik yang banyak dilakukan masyarakat saat menghadapi kesulitan hidup, merupakan contoh pemikiran dan cara pandang yang mengabaikan ketuhanan.

b) Pendidikan Moral
Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat masyarakat mengalami proses degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya. Pada hakekatnya moral adalah ukuran-ukuran nilai yang telah diterima oleh suatu komunitas(4). Moral berupa ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan baik lesan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Setiap agama memiliki doktrin moral, setiap budaya masyarakat juga memiliki standar nilai moral, yang apabila itu diaplikasikan akan menyebabkan munculnya kecerdasan moral pada indiviudu, keluarga maupun masyarakat dan bangsa.
Pendidikan dalam keluarga juga tidak cukup sebatas upaya preventif terhadap munculnya ketidakbaikan. Eksplorasi optimal terhadap potensi-potensi kebaikan harus dimunculkan secara seimbang dalam keluarga. Pendidikan moral sangat penting membiasakan kebiasaan yang baik dalam hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya, dan antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Karena perbuatan baik manusia tidak hanya diatur dan digerakkan oleh faktor hukum, namun juga oleh faktor etika moral atau akhlak. Misalnya ajaran agar berlaku baik kepada tetangga, lebih bercorak ajaran moral daripada hukum. Kalau hukum mengatur dengan sangat detail tentang ketentuan pelaksanaan dan pelanggaran, sedangkan aspek moral lebih bernuansa membangun kesadaran bertindak.

c) Pendidikan Emosi
Pendidikan emosi (psikis) membentuk berbagai karakter positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Memasuki abad 21, paradigma lama tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence/Intelectual Quotient) sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia, digugurkan oleh munculnya konsep atau paradigma kecerdasan lain yang ikut menentukan terhadap kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya(5).
Menurut Goleman(6), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, orang-orang yang hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah, karena cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut emotional quotient (EQ) sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”(7).

d) Pendidikan Fisik
Pendidikan fisik atau pendidikan jasmani tak kalah penting untuk mendapat perhatian. Keluarga harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan fisik: agar tubuh menjadi sehat, bugar dan kuat. Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Meminjam ungkapan Robert Gensemer(8), pendidikan jasmani diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: men sana in corporesano.
Di antara tujuan pendidikan fisik adalah mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang tepat, serta meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik. Di antara metoda pendidikan fisik dalam keluarga adalah pembiasaan pola hidup sehat, baik dari segi pola makan, pola istirahat, pola kegiatan, maupun dengan kegiatan olah raga yang teratur. Keluarga adalah lembaga pertama dalam mengembangkan pendidikan fisik ini bagi seluruh anggota keluarga.

e) Pendidikan Intelektual
Perilaku anarkistis di sekitar kita tampak marak yang ditandai dengan amuk massa, tingkah suporter sepak bola sampai tawuran antarsiswa dan mahasiswa, ataupun gerakan unjuk rasa mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Emosi massa seakan mudah tersulut, akal sehat seakan hilang dalam budaya kita yang dulu terkenal santun. Tak terkecuali berlaku bagi kelompok masyarakat elite dan berpendidikan. Kita membutuhkan pendidikan yang mampu memoles nalar sehat masyarakat kita. Ranah intelektual harus menjadi perhatian dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, selain sisi iman, moral, maupun emosional.
Menurut AS. Hornby, “intellectual is having or showing good reasoning power”(9). Dengan demikian, seseorang yang mempunyai kematangan intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan nalar logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistematis, dan efisien. Selain itu, seorang intelektual mampu melahirkan gagasan-gagasan baru, dapat menerima kritikan orang lain, dan mampu menguasai gramatikal bahasa. Jadi, kematangan intelektual dinilai dari seberapa jauh seseorang menggunakan intelegensinya, bukan dari tingkat perkembangan mentalnya.
Menciptakan kematangan intelektual adalah tugas keluarga dengan lingkungan yang kondusif, selain sekolah yang tentu sangat berperan dalam proses pematangan intelektual. Jika belajar dari negara Jerman, calon mahasiswa perguruan tinggi di Jerman dituntut telah mencapai hochschulreife, artinya kematangan, baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Pendidikan dalam keluarga berorientasi pada kematangan intelektual, agar anggota keluarga memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kondisi dalam kehidupan dengan nalar yang sehat dan matang.
Secara konseptual, kematangan intelektual dapat dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa(10). Matematika dapat memberikan cara bernalar logis dan kritis, sedangkan bahasa sebagai sarana bertutur dan menulis. Selain itu, diperlukan pula penggunaan metode pembelajaran yang tepat sehingga pembelajaran dapat terintegrasi dengan baik.

f) Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Pendidikan sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga.
Banyak kenyataan dalam kehidupan keseharian, anak yang disibukkan dengan dunianya sendiri, asyik dengan kecanggihan teknologi, baik itu playstation, handphone, komputer, atau benda teknologi lainnya. Anak mengurung diri di rumah atau kamar, tidak banyak keluar rumah, sehingga orang tua merasa tidak khawatir anaknya akan terkena pengaruh buruk dari pergaulan di luar rumah. Padahal keasyikan semacam itu membuatnya kehilangan kecerdasan sosial yang sangat diperlukan dalam kehidupan(11).
Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering menyebabkan dehumanisasi, karena telah meminimalisir interaksi sosial. Untuk berkomunikasi dengan tetangga, teman, saudara, bahkan anggota keluarga sendiri, cukup menggunakan sms, telpon, email, fesbuk, twitter, dan lain sebagainya. Untuk itulah keluarga harus memberikan pendidikan sosial yang memadai baghi seluruh anggotanya, agar memiliki kecerdasan sosial yang membuat setiap anggota keluarga mampu berinteraksi sosial secara positif di lingkungan masyarakat maupun lingkungan pergaulan lainnya.

g) Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual juga diperlukan dalam keluarga. Kesadaran diri sebagai laki-laki atau perempuan penting untuk mendapatkan perhatian sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya -antara laki-laki dan perempuan- sehingga tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan, adalah kesadaran gender yang juga mesti ditumbuhkan.
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri(12).
Menurut Sarlito(13), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.

h) Pendidikan Politik
Pendidikan politik dalam keluarga juga penting untuk mendapatkan perhatian. Sebenarnya kajian mengenai pendidikan politik telah dimulai bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara. Pemikir lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai urgensi ketaatan dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan terhadap institusi pemerintah(14).
Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan mekanisme. Yang paling penting di antaranya adalah, pertama, hierarki kekuasaan dalam institusi keluarga, kedua, suasana keluarga, dan ketiga, bahasa, konsep serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan cara pendidikan politik, karena institusi keluarga merupakan negara mini bagi anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to Politics, pengetahuan anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam institusi keluarga merupakan awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam negara dan kedudukannya di dalam negara(15).
Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta politik mereka(16). Sedangkan yang dimaksud dengan simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik.
Contoh simbol-simbol yang memiliki indikasi pendidikan politik banyak sekali dijumpai dalam keluarga. Simbol ini bisa terkandung dalam kisah kanak-kanak sebagai tokoh sentral atau pahlawan, atau nilai-nilai yang terkandung dalam kisah kepahlawanan pada umumnya. Permainan senjata pada anak-anak bisa menghantarkan pada nilai kepejuangan dan patriotisme. Bahkan nama anak itu sendiri bisa mencerminkan suatu simbolisasi politik yang diambil dari nama tokoh-tokoh dalam sejarah.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls