Skema Pembiayaan Paket INA CBG’s (Dody Firmanda, Ketua Komite Medik RSUP Fatmawati)
 
Kementerian Kesehatan melalui National Casemix Center (NCC) telah menghitung 
tarif
 pelayanan kesehatan di rumah sakit dengan tarif paket Ina CBG’s yang 
telah diberlakukan mulai 1 Januari 2014 bagi pasien peserta BPJS. Sistem
 Casemix Ina CBG’s adalah suatu pengklasifikasian atau pengelompokkan 
dari perawatan holistik pasien yang dirancang untuk menciptakan 
kelas-kelas yang relatif homogen dalam hal sumber daya yang akan 
digunakan dan berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinis yang 
sejenis (George Palmer, Beth Reid). Case Base Group (CBG’s) yaitu cara 
pembayaran keseluruhan biaya perawatan pasien berdasarkan diagnosis atau
 kasus yang relatif sama.
CBG Cost adalah jumlah lama hari rawat berdasarkan 
Case Base Group dikalikan 
Unit Cost
 Per Day. Model tarif ini didasarkan pada dua klasifikasi yaitu 
klasifikasi diagnose medis (ICD X) dan klasifikasi prosedur/tindakan 
medis (ICD IX-CM). Karena pembiayaan ini didasarkan pada tarif sejenis 
dan bersifat paket, maka standar pelayanan perlu dibuat, agar tarif 
paket yang diterima oleh rumah sakit sesuai dengan paket pelayanan yang 
diberikan oleh rumah sakit. Standar pelayanan itulah yang kemudian 
dinamakan Clinical Pathway.
Clinical Pathway 
dijabarkan dari Panduan Praktek Klinik (PPK) yang merupakan “aplikasi” 
dari Standar Praktek Kedokteran (SPK). Pengelompokan PPK mengacu pada 
ICD X untuk diagnosa medis dan ICD IX-CM untuk prosedur atau tindakan 
medis, yang kemudian dalam INACBG dikenal dengan grouping dan coding. 
Konsekuensi PPK adalah aplikasi Standar Praktek Kedokteran, artinya 
tindakan perawat yang jumlahnya ratusan (NIC=540) jelas tidak akan bisa 
masuk dalam daftar Clinical Pathway.
 (Tidak percaya, silakan ikuti pelatihan clinical pathway)
Dari uraian di atas, di manakah profesi perawat berada? Padahal 
profesi perawat memiliki nomenclatur Diagnosa Perawatan yang di tingkat 
Internasional sebanding dengan ICD X yaitu NANDA-I dan memiliki 
nomenclatur tindakan perawatan yang sebanding dengan ICD IX-CM yaitu NIC
 (
Nursing Intervention 
Clasification). Ketika profesi dokter telah “dipaksa” menggunakan bahasa
 standar internasional (ICD X dan ICD IX-CM) mengapa perawat tidak 
demikian?
Tentu banyak jawaban dan alibi yang muncul berkenaan dengan ini. Tapi
 yang jelas bukan karena profesi perawat tidak punya orang pintar. 
Profesi perawat sudah punya profesor, profesi perawat juga sudah banyak 
doktor. Bahkan master keperawatan jumlahnya sudah tidak sedikit. Saya 
pun berkeyakinan bahwa hampir semua mengenal minimal mendengar Diagnosa 
Perawatan NANDA dan klasifikasi tindakan perawatan NIC. Tapi akan 
diletakan di mana kedua klasifikasi itu?
Masih ada kesempatan bagi profesi perawat untuk diakui dalam tarif 
Ina CBG’s itu, karena tarif Ina CBG’s masih akan terus dievaluasi. 
Penghitungan Unit Cost per Day atau akan lebih sempurna kalau menjadi 
Unit Cost per Service, sesungguhnya dapat dijadikan kotaknya perawat 
untuk memasukan dua klasifikasi Nomenclatur Internasional Keperawatan. 
Sehingga penghitungan Unit Cost per Day / Unit Cost per Service menjadi 
lebih realistis, karena perawatlah yang mendampingi pasien selama 24 jam
 di rumah sakit.
Saya juga percaya bahwa Unit Cost per Day yang ditetapkan saat ini 
dalam tarif Ina CBG’s sudah mengakomodasi semua profesi. Tapi dari mana 
penghitungannya? Apakah Standar Asuhan Keperawatan yang telah lama ada, 
telah dijadikan dasar penghitungan Unit Cost per Day dalam Ina CBG’s. 
Kalau iya, seyogyanya penghitungan Unit Cost per Day dapat diuraikan 
dalam Nursing Clinical Pathway, agar perawatan pasien dengan 
karakteristik klinis yang sejenis juga mendapatka pelayanan perawatan 
yang sama dan standar. Bukan hanya itu, Nursing Clinical Pathway juga 
bisa dijadikan panduan dalam efisiensi pembiayaan perawatan pasien 
karena perawatlah yang melayani mereka selama 24 jam.
Saya tidak tahu apakah team NCC bentukan Kementrian Kesehatan telah 
megakomodasi profesi perawat di dalamnya, dan yang ada di sanapun 
memikirkan tentang hal ini. Bila tidak, maka inilah tragedi perawat 
Indonesia, dan kita perlu mengibarkan bendera setengah tiang untuk memperingatinya.
Keputusan Menteri Kesehatan No 49 tahun 2013 tentang Komite 
Keperawatan mengamanatkan agar perawat di rumah sakit menyusun 
Kewenangan Klinis Perawat. Padahal Kewenangan Klinis disusun berdasarkan
 Panduan Praktek Klinik. Bagaimana akan menyusun Kewenangan Klinik 
Perawat, bila Panduan Praktek Klinik Perawat sama sekali tidak 
terakomodasi dalam penentuan tarif yang berlaku di rumah sakit. Dari 
mana praktek perawat akan diaudit, apa perlunya kredensial, apa 
pentingnya penugasan klinik perawat yang semuanya diamanatkan dalam KMK 
no 49 tahun 2013 tentang Komite Perawatan jika perawat hanya dijadikan 
pembantu profesi lain?
Tapi sudahlah…….. Adek saya bilang, 
“Nasi sudah menjadi matang”.
 Dan kita tidak perlu menyalahkan siapapun, karena memang kita sendiri 
yang sampai hari ini tidak memiliki KMK Standar Profesi Perawat apalagi 
Standar Bahasa Keperawatan untuk menunjukan aktifitas kita yang sangat 
banyak. Mungkin butuh waktu 20 tahun lagi agar perawat diakui, sampai 
Standar Bahasa Keperawatan (SNL) masuk kurikulum pendidikan perawat.
disadur dari : nursing informatics 28/1/14