Ada delapan sisi yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan
integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral,
pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan emosi (psikis),
pendidikan sosial, pendidikan seksual, dan pendidikan politik
a) Pendidikan Iman
Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh
bagian-bagian pendidikan. Pendidikan iman ini yang akan membentuk
kecerdasan spiritual. Komitmen iman yang tertanam pada diri setiap
anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan
beragam bakat. Yang dimaksud dengan keimanan adalah keyakinan akan
keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Melihat perbuatan
manusia, Tuhan Yang Maha Membalas perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha
Adil dalam memberikan hukuman dan pembalasan, Tuhan Yang Maha Mengetahui
segala apa yang tampak dan tersembunyi. Inilah hakikat iman yang paling
fundamental. Setiap orang merasa dirinya berada dalam pengawasan dan
pemeliharaan Tuhan.
Perasaan bertuhan menjadi sebuah landasan imunitas bagi semua manusia
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seorang ayah akan bekerja dengan
benar untuk menghidupi keluarganya karena merasa diawasi oleh Tuhan
Yang Maha Melihat. Seorang pejabat akan menunaikan amanah dengan benar,
tidak menyalahgunakan wewenang walaupun ada banyak kesempatan ditemui,
karena merasa diawasi oleh Tuhan.
Nilai-nilai keimanan harus dijadikan perhatian utama dalam membentuk
imunitas keluarga dalam menghadapi arus globalisasi. Penanaman
nilai-nilai keimanan dalam keluarga merupakan pengamalan Pancasila
khususnya sila pertama. Apabila iman sudah tertanam dengan kuat, akan
melahirkan pula kepatuhan manusia terhadap hukum dan aturan yang datang
dari Tuhan. Semua hukum dan aturan yang diberikan oleh Tuhan untuk
manusia adalah untuk kebaikan kehidupan manusia dan menghindarkan
manusia dari kerusakan. Keluarga dibiasakan dan dilatih untuk mentaati
hukum dan aturan dari Tuhan, agar kehidupan yang terbangun dapat berada
dalam jalan yang benar.
Lebih jauh lagi, keimanan juga membentuk pemikiran dan cara pandang
yang khas, yaitu manusia dalam memandang segala sesuatu dengan
perspektif ketuhanan. Sebagai manusia beragama, semestinya dituntut
memandang segala sesuatu dengan cara pandang yang bertuhan. Pragmatisme
dan perbuatan fatalistik yang banyak dilakukan masyarakat saat
menghadapi kesulitan hidup, merupakan contoh pemikiran dan cara pandang
yang mengabaikan ketuhanan.
b) Pendidikan Moral
Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah
memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat masyarakat mengalami
proses degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan
keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya. Pada hakekatnya
moral adalah ukuran-ukuran nilai yang telah diterima oleh suatu
komunitas(4). Moral berupa ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan
atau kumpulan peraturan baik lesan maupun tertulis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Setiap
agama memiliki doktrin moral, setiap budaya masyarakat juga memiliki
standar nilai moral, yang apabila itu diaplikasikan akan menyebabkan
munculnya kecerdasan moral pada indiviudu, keluarga maupun masyarakat
dan bangsa.
Pendidikan dalam keluarga juga tidak cukup sebatas upaya preventif
terhadap munculnya ketidakbaikan. Eksplorasi optimal terhadap
potensi-potensi kebaikan harus dimunculkan secara seimbang dalam
keluarga. Pendidikan moral sangat penting membiasakan kebiasaan yang
baik dalam hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya, dan
antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Karena perbuatan baik
manusia tidak hanya diatur dan digerakkan oleh faktor hukum, namun juga
oleh faktor etika moral atau akhlak. Misalnya ajaran agar berlaku baik
kepada tetangga, lebih bercorak ajaran moral daripada hukum. Kalau hukum
mengatur dengan sangat detail tentang ketentuan pelaksanaan dan
pelanggaran, sedangkan aspek moral lebih bernuansa membangun kesadaran
bertindak.
c) Pendidikan Emosi
Pendidikan emosi (psikis) membentuk berbagai karakter positif
kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap
optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong
manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya.
Memasuki abad 21, paradigma lama tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence/Intelectual Quotient)
sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan
parameter keberhasilan dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia,
digugurkan oleh munculnya konsep atau paradigma kecerdasan lain yang
ikut menentukan terhadap kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam
hidupnya(5).
Menurut Goleman(6), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, orang-orang yang hanya memiliki kecerdasan akademis
tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan,
terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan
cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat.
Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka
orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah, karena cenderung
akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah
frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan
kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas
emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer
mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut emotional quotient
(EQ) sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang
lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan”(7).
d) Pendidikan Fisik
Pendidikan fisik atau pendidikan jasmani tak kalah penting untuk
mendapat perhatian. Keluarga harus menampakkan berbagai kekuatan,
termasuk kekuatan fisik: agar tubuh menjadi sehat, bugar dan kuat.
Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang
memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam
kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Meminjam
ungkapan Robert Gensemer(8), pendidikan jasmani diistilahkan sebagai
proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.”
Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang
sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: men sana in corporesano.
Di antara tujuan pendidikan fisik adalah mengembangkan keterampilan
pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran
jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan
olahraga yang tepat, serta meningkatkan pertumbuhan fisik dan
pengembangan psikis yang lebih baik. Di antara metoda pendidikan fisik
dalam keluarga adalah pembiasaan pola hidup sehat, baik dari segi pola
makan, pola istirahat, pola kegiatan, maupun dengan kegiatan olah raga
yang teratur. Keluarga adalah lembaga pertama dalam mengembangkan
pendidikan fisik ini bagi seluruh anggota keluarga.
e) Pendidikan Intelektual
Perilaku anarkistis di sekitar kita tampak marak yang ditandai dengan
amuk massa, tingkah suporter sepak bola sampai tawuran antarsiswa dan
mahasiswa, ataupun gerakan unjuk rasa mahasiswa yang berujung bentrokan
dengan aparat keamanan. Emosi massa seakan mudah tersulut, akal sehat
seakan hilang dalam budaya kita yang dulu terkenal santun. Tak
terkecuali berlaku bagi kelompok masyarakat elite dan berpendidikan.
Kita membutuhkan pendidikan yang mampu memoles nalar sehat masyarakat
kita. Ranah intelektual harus menjadi perhatian dalam proses pendidikan
integratif dalam keluarga, selain sisi iman, moral, maupun emosional.
Menurut AS. Hornby, “intellectual is having or showing good reasoning power”(9).
Dengan demikian, seseorang yang mempunyai kematangan intelektual adalah
orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan nalar logika,
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistematis, dan efisien.
Selain itu, seorang intelektual mampu melahirkan gagasan-gagasan baru,
dapat menerima kritikan orang lain, dan mampu menguasai gramatikal
bahasa. Jadi, kematangan intelektual dinilai dari seberapa jauh
seseorang menggunakan intelegensinya, bukan dari tingkat perkembangan
mentalnya.
Menciptakan kematangan intelektual adalah tugas keluarga dengan
lingkungan yang kondusif, selain sekolah yang tentu sangat berperan
dalam proses pematangan intelektual. Jika belajar dari negara Jerman,
calon mahasiswa perguruan tinggi di Jerman dituntut telah mencapai hochschulreife,
artinya kematangan, baik intelektual maupun emosional, agar dapat
menempuh studi akademis. Pendidikan dalam keluarga berorientasi pada
kematangan intelektual, agar anggota keluarga memiliki kesiapan untuk
menghadapi berbagai kondisi dalam kehidupan dengan nalar yang sehat dan
matang.
Secara konseptual, kematangan intelektual dapat dibentuk terutama
lewat matematika dan bahasa(10). Matematika dapat memberikan cara
bernalar logis dan kritis, sedangkan bahasa sebagai sarana bertutur dan
menulis. Selain itu, diperlukan pula penggunaan metode pembelajaran yang
tepat sehingga pembelajaran dapat terintegrasi dengan baik.
f) Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota
keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan
kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Pendidikan sosial
memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan
peran sosial seluruh anggota keluarga.
Banyak kenyataan dalam kehidupan keseharian, anak yang disibukkan
dengan dunianya sendiri, asyik dengan kecanggihan teknologi, baik itu playstation, handphone,
komputer, atau benda teknologi lainnya. Anak mengurung diri di rumah
atau kamar, tidak banyak keluar rumah, sehingga orang tua merasa tidak
khawatir anaknya akan terkena pengaruh buruk dari pergaulan di luar
rumah. Padahal keasyikan semacam itu membuatnya kehilangan kecerdasan
sosial yang sangat diperlukan dalam kehidupan(11).
Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk terus
dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah
kecerdasan sosial. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering
menyebabkan dehumanisasi, karena telah meminimalisir interaksi sosial.
Untuk berkomunikasi dengan tetangga, teman, saudara, bahkan anggota
keluarga sendiri, cukup menggunakan sms, telpon, email, fesbuk, twitter,
dan lain sebagainya. Untuk itulah keluarga harus memberikan pendidikan
sosial yang memadai baghi seluruh anggotanya, agar memiliki kecerdasan
sosial yang membuat setiap anggota keluarga mampu berinteraksi sosial
secara positif di lingkungan masyarakat maupun lingkungan pergaulan
lainnya.
g) Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual juga diperlukan dalam keluarga. Kesadaran diri
sebagai laki-laki atau perempuan penting untuk mendapatkan perhatian
sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan
reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga
kepada anak laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya
-antara laki-laki dan perempuan- sehingga tidak terjadi dominasi
laki-laki atas perempuan, adalah kesadaran gender yang juga mesti
ditumbuhkan.
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat
penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan
jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah
seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari
orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru
sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting
terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif,
karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan
sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual
mereka sendiri(12).
Menurut Sarlito(13), secara umum pendidikan seksual adalah suatu
informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar,
yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran,
tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan,
kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan
sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa
yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa
melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
h) Pendidikan Politik
Pendidikan politik dalam keluarga juga penting untuk mendapatkan
perhatian. Sebenarnya kajian mengenai pendidikan politik telah dimulai
bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang
mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara.
Pemikir lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai
urgensi ketaatan dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan
terhadap institusi pemerintah(14).
Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga dapat berlangsung
dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan mekanisme.
Yang paling penting di antaranya adalah, pertama, hierarki kekuasaan
dalam institusi keluarga, kedua, suasana keluarga, dan ketiga, bahasa,
konsep serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan
cara pendidikan politik, karena institusi keluarga merupakan negara mini
bagi anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to Politics, pengetahuan
anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam institusi keluarga merupakan
awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam negara dan kedudukannya
di dalam negara(15).
Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan
politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh
anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan
perilaku sosial serta politik mereka(16). Sedangkan yang dimaksud dengan
simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan
kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan
makna politik.
Contoh simbol-simbol yang memiliki indikasi pendidikan politik banyak
sekali dijumpai dalam keluarga. Simbol ini bisa terkandung dalam kisah
kanak-kanak sebagai tokoh sentral atau pahlawan, atau nilai-nilai yang
terkandung dalam kisah kepahlawanan pada umumnya. Permainan senjata pada
anak-anak bisa menghantarkan pada nilai kepejuangan dan patriotisme.
Bahkan nama anak itu sendiri bisa mencerminkan suatu simbolisasi politik
yang diambil dari nama tokoh-tokoh dalam sejarah.
0 comments:
Post a Comment